PELANGGARAN - PELANGGARAN HUKUM DALAM PERJANJIAN
KREDIT DENGAN JAMINAN FIDUSIA
Oleh : Unan Pribadi, SH.
(Kepala Sub Bidang Pelayanan Hukum Umum Kanwil
Kementerian Hukum dan HAM DIY)
“ Secara
jenaka ada yang mengartikan bank sebagai institusi yang bersedia memberikan
payung kepada seseorang ketika cuaca baik, tetapi segera memintanya kembali
ketika hujan mulai turun (Munir Fuady, SH.,MH.,LLM.)”.
P E
N D A H U L U A N
Salah satu
aktifitas dalam dunia perbankan maupun lembaga keuangan lainnya adalah
pemberian kredit kepada nasabah. Pemberian kredit ini merupakan salah satu
bentuk usaha bank untuk mendapatkan keuntungan dari dana yang dimiliki bank
yang telah berhasil dihimpun dari pihak lain melalui layanan berbentuk tabungan,
giro, maupun deposito berjangka.
Pengucuran
kredit yang dilakukan oleh bank atau lembaga keuangan lainnya pasti mengandung
suatu risiko. Oleh karenanya, perjanjian kredit harus ditopang suatu lembaga
jaminan yang fungsinya untuk keamanan pemberian kredit, yang mana jika debitur
tidak memenuhi prestasinya secara sukarela maka kreditur mempunyai hak untuk
menuntut piutangnya terhadap harta kekayaan debitur yang dipakai sebagai
jaminan. Hak pemenuhan dari kreditur tersebut dilakukan dengan cara penjualan
benda-benda jaminan di mana hasilnya adalah untuk pemenuhan hutang debitur (Sri
Soedewi Masjchoen Sofwan, 1980 : 31). Tanpa adanya lembaga jaminan dalam suatu
perjanjian kredit, niscaya pihak kreditur akan kesulitan untuk mendapatkan
pelunasan pinjamannya dari pihak debitur manakala pihak debitur melakukan
wanprestasi.
Dewasa ini,
lembaga jaminan yang banyak diterapkan dalam perjanjian kredit adalah hipotik
atau hak tanggungan, gadai dan jaminan fidusia. Lembaga jaminan hipotik
digunakan apabila obyek jaminan atau agunannya adalah benda tetap (benda tidak
bergerak). Sedangkan apabila obyek agunannya adalah benda-benda bergerak maka
dapat diikat dengan gadai atau dengan jaminan fidusia.
Lembaga
jaminan fidusia sebagai suatu perjanjian accessoir dari perjanjian
utang piutang (perjanjian kredit) merupakan perkembangan dari lembaga jaminan
gadai. Perbedaan prinsipil antara lembaga jaminan gadai dengan lembaga jaminan
fidusia terletak pada aspek “penguasaan atas obyek jaminannya”. Pada
lembaga gadai, obyek jaminan diserahkan dan dikuasai oleh pihak penerima gadai
(kreditur), sedangkan dalam perjanjian jaminan fidusia, obyek jaminan tetap
dikuasai oleh pihak pemberi fidusia (debitur). Perbedaan tersebut merupakan
kelebihan jaminan fidusia dibandingkan gadai karena obyek jaminan tetap dapat
dimanfaatkan oleh debitur untuk kegiatan usahanya.
Pada
awalnya, ketentuan hukum tentang lembaga jaminan fidusia di Indonesia hanya
mendasarkan pada jurisprudensi saja. Namun mengingat lembaga jaminan fidusia
semakin banyak digunakan dalam kegiatan bisnis, pemerintah akhirnya campur
tangan dengan membuat regulasi dalam bentuk undang-undang untuk memberikan
kepastian hukum dan perlindungan hukum baik bagi pihak kreditur maupun pihak
debitur.
Pada saat
ini lembaga jaminan fidusia telah mendapat pengaturan dalam Undang-Undang Nomor
42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Dalam undang-undang tersebut telah
diatur ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi dan ditaati dalam melakukan
perjanjian jaminan fidusia, termasuk diantaranya adalah ketentuan yang
mewajibkan untuk mendaftarkan obyek jaminan fidusia di Kantor Pendaftaran
Fidusia ( Pasal 11 ayat (1) jo. Pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun
1999 ).
Sejak
diundangkan pada tanggal 30 September 1999, dalam praktek pemberian kredit
dengan jaminan fidusia yang seharusnya mengacu pada Undang-Undang Nomor 42
Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia ternyata masih banyak terjadi pelanggaran,
sebagai salah satu contohnya adalah masih banyak pihak bank maupun lembaga
pembiayaan (finance) yang tidak mendaftarkan obyek jaminan fidusia ke
Kantor Pendaftaran Fidusia. Beranjak dari fenomena itu, penulis tertarik
membahas permasalahan tersebut dengan topik permasalahan : “
Pelanggaran-pelanggaran hukum apa yang terjadi dalam praktek perjanjian kredit
dengan obyek jaminan fidusia pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia ? ”
P E M B A H
A S A N
Dalam
perjanjian kredit yang dilakukan oleh perbankan, pihak bank harus bertindak
hati-hati dengan memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat yaitu dengan
memperhatikan kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai
yang diperjanjikan. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum mengucurkan
kreditnya pihak bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak,
kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha pihak calon nasabah
(Widjanarto, 1997 : 67).
Apabila yang
menjadi obyek agunan adalah berupa benda bergerak maka dapat diikat dengan
perjanjian jaminan fidusia. Dalam perjanjian kredit dengan jaminan fidusia,
bank harus bertindak sangat hati-hati khususnya dalam hal bonafiditas calon
debitur karena barang-barang bergerak yang dijaminkan secara fidusia tetap
dikuasai oleh debitur. Oleh karenanya, berhasil atau gagalnya bentuk jaminan
fidusia itu semata-mata tergantung pada bonafiditas dan itikad baik pihak
debitur (Widjanarto : 71).
Pengertian
fidusia sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor
42 Tahun 1999 adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan
dengan ketentuan bahwa benda yang kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam
penguasaan pemilik benda. Berdasarkan definisi tersebut, ada 3 (tiga) ciri
fidusia yaitu :
1.
Pengalihan hak kepemilikan suatu benda;
2.
Atas dasar kepercayaan;
3.
Benda itu tetap dalam penguasaan pemilik benda (J. Satrio, 2002 : 159).
Selanjutnya
dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 diatur mengenai
pengertian Jaminan Fidusia yaitu hak jaminan atas benda bergerak baik yang
berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda bergerak yang tidak dapat
dibebani hak tanggungan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia,
sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang
diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainnya.
Adapun yang
dapat dijadikan obyek jaminan fidusia adalah sebagai berikut :
a.
Benda bergerak yang berwujud seperti benda dagangan, inventory (benda dalam
persediaan), peralatan mesin, kendaraan bermotor dll.;
b.
Benda bergerak yang tidak berwujud termasuk saham, piutang;
c.
Benda tidak bergerak yang tidak dapat diikat dengan hak tanggungan, misalnya
bangunan milik debitur yang berdiri di atas tanah milik orang lain atau tanah
hak pakai dari pihak lain.
Terhadap
pembebanan dengan jaminan fidusia harus memenuhi ketentuan :
1.
Harus dibuat dengan akta Notaris dan dengan bahasa Indonesia (Pasal 5
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999);
2.
Akta jaminan fidusia sekurang-kurangnya memuat :
a.
Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia;
b.
Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;
c.
Uraian mengenai benda yang menjadi obyek jaminan fidusia;
d.
Nilai penjaminan; dan
Nilai benda
yang menjadi obyek jaminan fidusia (Pasal 6 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999).
Setiap benda
yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan di Kantor Pendaftaran
Fidusia. Adapun pihak yang wajib mendaftarkan adalah pihak penerima fidusia (kreditur)
atau kuasa atau wakilnya. Kantor Pendaftaran Fidusia akan mencatat jaminan
fidusia dalam Buku Daftar Fidusia pada tanggal yang sama dengan tanggal
penerimaan permohonan pendaftaran jaminan fidusia. Tanggal pencatatan jaminan
fidusia pada Buku Daftar Fidusia adalah dianggap sebagai tanggal lahirnya
jaminan fidusia.
Sejak
diberlakukannya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia,
dalam implementasinya masih terdapat pelanggaran-pelanggaran hukum baik yang
dilakukan oleh pihak kreditur (penerima fidusia) maupun oleh pihak debitur
(pemberi fidusia). Pelanggaran-pelanggaran yang sering dilakukan oleh kreditur
adalah sebagai berikut :
1.
Kreditur tidak mendaftarkan obyek jaminan fidusia di Kantor Pendaftaran
Fidusia.
Pelanggaran
ini biasanya dilakukan oleh Bank Perkreditan Rakyat (BPR) maupun bank umum
untuk nilai pinjamannya kecil. Dalam hal ini pihak bank sudah siap menanggung
resiko jika terjadi kredit macet. Lembaga Pembiayaan (finance) juga
banyak yang tidak mendaftarkan jaminan fidusianya dengan alasan demi efisiensi
dalam menghadapi persaingan dengan lembaga pembiayaan lainnya.
Pasal 11
ayat (1) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 sudah mengatur bahwa benda yang
dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan. Terhadap jaminan fidusia
yang tidak didaftarkan maka ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang tentang
Jaminan Fidusia tidak berlaku, dengan kata lain untuk berlakunya
ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia maka harus
dipenuhi bahwa benda jaminan fidusia itu didaftarkan. Kreditur yang tidak
mendaftarkan obyek jaminan fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia tidak bisa
menikmati keuntungan-keuntungan dari ketentuan-ketentuan dalam undang-undang
jaminan fidusia seperti misalnya hak preferen atau hak didahulukan (J. Satrio,
242 -243). Konsekwensi lain dengan tidak didaftarkannya suatu obyek jaminan
fidusia adalah apabila debitur wanprestasi maka kreditur tidak bisa langsung
melakukan eksekusi terhadap jaminan fidusia namun harus menempuh gugatan secara
perdata di pengadilan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata). Apabila sudah ada putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap maka baru dapat dimintakan eksekusi terhadap obyek jaminan
fidusia.
2.
Pendaftaran fidusia dilakukan setelah debitur wanprestasi.
Pelanggaran
ini masih banyak dilakukan oleh lembaga pembiayaan (finance) dengan
alasan sebagaimana telah dikemukakan di atas. Pada saat debitur mulai
wanprestasi, perusahaan finance baru mendaftarkan obyek jaminan fidusia
dalam rangka untuk memenuhi persyaratan untuk melakukan eksekusi terhadap obyek
jaminan fidusia. Pemicu tindakan lembaga finance ini dikarenakan dalam
Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia tidak diatur ketentuan mengenai daluarsa
pendaftaran jaminan fidusia sehingga Kantor Pendaftaran Fidusia tidak punya
alasan untuk menolak permohonan pendaftaran fidusia yang perjanjian kreditnya
sudah ditandatangani dalam waktu yang lama (biasanya 2 -3 tahun sebelum
didaftarkan).
Walaupun
tidak ada aturan mengenai daluarsa pendaftaran jaminan fidusia, namun dalam
Pasal 14 sub 3 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia telah
diatur bahwa jaminan fidusia lahir pada tanggal yang sama dengan tanggal
pendaftaran jaminan fidusia sebagaimana tercatat dalam Buku Daftar Fidusia.
Oleh sebab itu, apabila ada perjanjian kredit yang dibuat beberapa tahun yang
lalu namun pendaftaran jaminan fidusianya baru dilakukan belakangan maka
berlakunya jaminan fidusia itu adalah pada saat didaftarkan bukan pada saat perjanjian
kredit ditandatangani atau pada saat penandatanganan akta notariil.
Konsekwensinya adalah peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi sebelum
pendaftaran jaminan fidusia tidak berlaku ketentuan-ketentuan dalam
Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia.
3.
Perjanjian kredit yang diikat dengan jaminan fidusia namun obyeknya
bukan merupakan obyek jaminan fidusia, seperti misalnya hak sewa, hak pakai
maupun sewa beli (leasing). Hal ini lebih dikarenakan ketidaktahuan
kreditur terhadap aspek hukum tentang jaminan fidusia. Benda yang merupakan
obyek sewa-menyewa, hak pakai atau sewa beli bukan merupakan hak kebendaan
sehingga bukan merupakan obyek jaminan fidusia sehingga tidak dapat didaftar di
Kantor Pendaftaran Fidusia. Karena bukan merupakan obyek jaminan fidusia, maka
apabila debitur wanprestasi maka kreditur tidak mempunyai hak preferen dan
tidak dapat melakukan eksekusi terhadap obyek jaminan sebagaimana diatur dalam
Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia.
4.
Kreditur melakukan eksekusi terhadap obyek jaminan fidusia tidak sesuai
ketentuan Pasal 29 Undang-Undang tentang Jaminan Fidusia.
Apabila
debitur wanprestasi dengan tidak melunasi hutangnya sesuai yang diperjanjikan,
maka dapat dilakukan eksekusi terhadap obyek jaminan fidusia yang telah
didaftarkan di Kantor Pendaftaran Fidusia guna pelunasan utang tersebut. Dalam
Pasal 29 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia diatur
mengenai cara melakukan eksekusi yaitu :
- Pelaksanaan title eksekutorial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999.
Dalam
sertifikat jaminan fidusia terdapat irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA” sehingga mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama
dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
- Penjualan benda obyek jaminan fidusia atas kekuasaan penerima fidusia sendiri melalui pelelangan umum;
- Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan antara pemberi dan penerima fidusia untuk memperoleh harga tertinggi yang menguntungkan kedua belah pihak.
Dalam hal
eksekusi dilakukan dengan penjualan di bawah tangan maka boleh dilakukan
setelah lewat waktu 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis kepada
pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan minimal dalam 2 (dua) surat kabar
yang beredar di daerah yang bersangkutan. Prosedur inilah yang sering dilanggar
oleh lembaga pembiayaan (finance) dalam melakukan eksekusi terhadap
obyek jaminan. Biasanya Finance akan menggunakan jasa debt collector
yang langsung mendatangi debitor dan mengambil kendaraan obyek jaminan dan
kemudian oleh finance akan menjualnya kepada pedagang yang sudah menjadi
relasinya. Hasil penjualan tidak diberitahukan kepada debitur apakah ada sisa
atau masih ada kekurangan dibandingkan dengan hutang debitur.
Terhadap
eksekusi yang bertentangan dengan ketentuan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 42
Tahun 1999 berakibat eksekusi tidak sah sehingga pihak pemberi fidusia
(debitur) dapat menggugat untuk pembatalan.
Selain
dilakukan oleh pihak kreditur, pelanggaran hukum terhadap ketentuan dalam
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 juga dapat dilakukan oleh pihak debitur.
Pelanggaran-pelanggaran yang sering dilakukan debitur adalah sebagai berikut :
1.
Debitur menjaminkan lagi obyek jaminan fidusia (Fidusia ulang)
Undang-Undang
tentang Jaminan Fidusia melarang adanya tindakan fidusia ulang sebagaimana
diatur dalam Pasal 17. Ketentuan ini dibuat dalam rangka untuk melindungi
kepentingan pihak kreditur yang telah memberikan pinjaman kepada debitur dan
obyek jaminannya tetap dikuasai oleh debitur. Ketentuan tersebut sangat logis
karena atas obyek jaminan fidusia dimaksud hak kepemilikannya telah “beralih”
dari pemberi fidusia (debitur) kepada penerima fidusia (kreditur) sehingga
tidak mungkin lagi dijaminkan kepada pihak lain. Apabila atas benda yang sama
menjadi obyek jaminan fidusia lebih dari satu perjanjian jaminan fidusia maka
hak yang didahulukan sebagaimana dimaksud dalam pasal 27 diberikan kepada pihak
yang lebih dahulu mendaftarkannya di Kantor Pendaftaran Fidusia (pasal 28).
1.
Pemberi fidusia (debitur) menggadaikan, mengalihkan atau menyewakan obyek
jaminan fidusia tanpa seijin penerima fidusia (kreditur).
Tindakan ini
biasanya dilakukan oleh debitur yang telah mendapatkan pembiayaan dari
perusahaan finance untuk pembelian kendaraan bermotor, di mana hutangnya
belum lunas tapi kendaraannya telah digadaikan secara di bawah tangan kepada
pihak ketiga.
Terhadap
perbuatan tersebut, Pasal 36 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 telah mengatur
ancaman pidana bagi debitur yang mengadaikan atau mengalihakan obyek jaminan
fidusia tanpa seijin kreditur yaitu diancam pidana penjara paling lama 2 (dua)
tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah).
2.
Debitur mengubah dan atau mengganti isi dari benda yang menjadi obyek jaminan
sehingga kualitasnya menjadi turun (jelek). Misalnya mengganti onderdil
kendaraan bermotor dengan onderdil palsu atau onderdil bekas.
Perbuatan
debitur tersebut tidak dapat dibenarkan karena pada saat ditandatanganinya
perjanjian kredit dan perjanjian jaminan fidusia, hak kepemilikan atas obyek
jaminan fidusia telah “beralih” dari pemberi fidusia (debitur) kepada
penerima fidusia (kreditur), sehingga pemberi fidusia (debitur) hanya “dianggap
sebagai penyewa” yang mempunyai kewajiban untuk menjaga, memelihara dan
memakai obyek jaminan yang dikuasainya dengan baik.
K E S I M P
U L A N
Dalam
praktek pemberian kredit dengan jaminan fidusia, ternyata masih banyak
pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun
1999 walaupun undang-undang tersebut telah berlaku lebih dari sepuluh tahun
yang lalu. Pelanggaran dimaksud dilakukan oleh pihak debitur maupun pihak
kreditur. Terhadap pelanggaran hukum terhadap Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999
tentang Jaminan Fidusia membawa akibat hukum baik yang bersifat pidana maupun
non pidana.
DAFTAR PUSTAKA
Fuady Munir,
Hukum Bisnis Dalam Teori dan Praktek, PT. Citra Aditya Bakti Bandung,
1994.
Satrio J., Hukum
Jaminan Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, PT. Citra Aditya Bakti Bandung,
2002.
Sofwan, Sri
Soedewi Masjchoen, Hukum Jaminan di Indonesia Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan
Jaminan Perorangan, Liberty Offset Yogyakarta, 1980.
Widjanarto, Hukum
dan Ketentuan Perbankan di Indonesia, Pustaka Utama Grafiti Jakarta, 1997.
DAFTAR PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Peraturan
Pemerintah Nomor 86 Tahun 2000 tentang Tata Cara Pendaftaran Jaminan Fidusia.
Keputusan
Presiden Nomor 139 Tahun 2000 tentang Pembentukan Kantor Pendaftaran Fidusia
di Setiap Ibukota Propinsi di Wilayah Negara Republik Indonesia.
Posting Komentar